Berita / Inspirasi

Kisah salah seorang ulama sufi Betawi terkemuka, KH. Abdurrahim Radjiun

Selasa, 01 Januari 2019 00:00:00
136349 klik
Oleh : admin
Kirim ke teman   Versi Cetak



Assalaamu`alaikum. ini kisah salah seorang ulama sufi Betawi terkemuka, KH. Abdurrahim Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan. Beliau sudah almarhum pada tahun 2008. Beberapa tahun sebelum wafat, beliau menulis manaqibnya. Judulnya: DUO RADJIUN TEDUHKAN LANGIT BETAWI. Berikut manaqibnya:

Wante, nama sapaan semasa balita, yang diberikan oleh sang ayah, kepada anak lelaki ketiganya -setelah kedua kakaknya : Abdullah dan Shafruddin, keduanya wafat di usia dini. Nama itu disesuaikan antara tahun kelahiran sang bayi, dengan masa ketika sang ayah menjadi anggota Konstituante.

Sang ayah, KH. Moh. Radjiun, yang kemudian lebih dikenal sebagai Muallim Radjiun bin Abdurrahim bin Muhammad Nafe bin Guru Abdulhalim, kelahiran Kebon Sirih, Jakarta Pusat, menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu dari beberapa ulama Betawi, sampai pada akhirnya bersama adik kandungnya, Hasanat, melanjutkan ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama di kota suci itu.

Ketika Perang Dunia II berkobar dan jalur laut terputus, Radjiun muda yang semula menikmati kiriman dari tanah air, terpaksa harus turun lapangan hijau sebagai pemain bola nasional Nejed. Dari hasil kakinya inilah, Radjiun ‘menampung’ teman-teman untuk menyambung hidup.

Setelah sebelasan tahun di Mekkah, Radjiun kembali ke tanah air bergabung dengan beberapa teman dan juniornya, antara lain : KH. Tb. Mansur Ma’mun dan KH. Shaleh Ma’mun Serang, Banten, KH. Hanan Said, KH. Abdul Aziz Muslim, dalam Jam’iyyatul Qurro wal Huffazh, organisasi yang menaungi para Qari dan penghafal al Quran zaman itu, selain beraktivitas di Nahdlatul Ulama, yang kemudian mengantar Radjiun ke kursi Penasihat Ahli Bidang Agama, Menteri Utama Bidang Kesra RI, ketika itu dijabat oleh Dr. KH. Idham Cholid.

Namun betapapun, putera –cucu petani kembang dari Rawa Belong – kemudian mengembangkan sayap usaha, dengan alih profesi sebagai saudagar kuda yang basis peternakannya di Sumbawa ini Nusa Tenggara Barat, kemudian terus bertabligh sampai ke Nusa Tenggara Timur, sampai saat ini, kekayaan intelektual beliau terwariskan pada sejumlah ulama besar di Waingapu, bagai bangau yang kembali ke kubangan, Radjiun lebih memilih duduk bersama ummat, menghabiskan hampir seluruh waktunya memberi pelajaran agama, dari masjid ke masjid, mulai dari kawasan Jakarta daratan hingga Kepulauan Seribu. Dan Indonesia mencatat, bahwa Muallim Radjiun adalah ulama Betawi yang peroleh kepercayaan untuk menjadi Imam Shalat Jumat pertama di masjid Istiqlal bersama Presiden RI Pertama, Bung Karno.

Beristeri Seorang Ningrat Arab

Syarifah Chadidjah yang berdarah Arab, dinikahi Radjiun tidak memberikan keturunan. Dari pernikahan itu, Radjiun menancapkan kuku tablighnya teramat kuat di Pekodjan Jakarta Barat, yang dikenal sebagai salah satu basis etnik Arab, yang mata rantainya sampai ke masjid Keramat Luar Batang, Jakarta Utara. Maka tidak heran, kalau kedekatannya dalam ikatan kekerabatan dengan para Habaib pada zamannya, sangat kental, selain kakek beliau dimakamkan dalam kompleks yang sama.

Sementara sebagai anak Betawi, Muallim Radjiun tidak punya pilihan untuk mangkal di masjid Alma’mur Tanah Abang. Bertahun-tahun sebagai pengajar di masjid tua yang bersebelahan dengan Pasar Regional Tanah Abang, ini, keberadaan Muallim Radjiun tidak sekadar sebagai guru, akan tetapi lebih sebagai pewaris. Sebab menurut catatan silsilah keluarga, muallim Radjiun adalah cicit dari pewakaf tanah masjid tersebut, sedangkan kakek buyut beliau dikenal sebagai pemilik, sekaligus yang memberi nama kawasan itu sebagai Tanah Abang ( bahasa Jawa : Tanah Merah) karena diketahui kemudian bahwa di tubuh Muallim Radjiun mengalir darah biru dari garis Kiai Ageng Kadilangu dan Kanjeng Gusti Pangeran Ageng Samandi, salah seorang sepupu Raden Fattah, dari ibunda Nyai Ageng Campa, puteri Kaisar Tiongkok permaisuri Gusti Prabu Brawijaya V yang ‘hilang’ di Palembang.

Muallim Radjiun, yang diakui oleh
Da’i sejuta ummat, KH. Zainuddin MZ, dan al Allamah di bidang ilmu fiqih, KH. Syafi’i al Hadzami sebagai ‘guru saya’ adalah profil ulama yang ‘menyimpan banyak perabot dalam satu tas’ karena selain di Parlemen, Birokrat, Penceramah, Qari dan atau Hafiz, sebagai alumni Mekkah, dipastikan beliau sangat menguasai literatur klasik, yang di tanah air populer dengan sebutan Kitab Kuning. Unik, memang. Dan salah satu maziyyah, kelebihan yang Allah anugerahkan, yaitu : ketika dalam suatu perjalanan di kawasan pesisir Kamal, sebelah Barat Jakarta, muallim ini kepingin makan kelapa kopyor – dagingnya terasa renyah. Teman-teman seperjalanannya berkomentar bahwa tidak mudah untuk mendapatkan kelapa dimaksud. Kemudian muallim yang dikenal familiar ini, menyuruh sopir untuk menghentikan kendaraan dekat pohon kelapa yang buahnya sangat banyak. Seperti jawaban teman-teman Radjiun, pemilik pohon itu juga mengatakan bahwa itu bukan pohon kelapa kopyor. Sambil senyum, muallim ini meminta pemilik pohon itu untuk memetik 9 butir. Subhanallah, ternyata kesembilan butir kelapa hijau itu seluruhnya kopyor !

Ingin menjadi Nabi

Seperti pepatah bilang : buah, jatuh tidak jauh dari pohonnya. Itu terjadi pada Duo Radjiun ini. Wante, sang Radjiun junior, terlahir dari ibunda R. Hj. Siti Maryam -bergaris ke Gusti Pangeran Kian Santang, Pajajaran, Jawa Barat, nama lengkapnya adalah Abdurrahim Radjiun, sejak kelas 5 Sekolah Rakyat, sudah ‘dibuang’ untuk mengenal dunia Pesantren. Pelabuhan pertamanya adalah Pesantren Attaqwa, Ujung Malang (kemudian menjadi Ujung Harapan Bahagia) Bekasi, dibawah asuhan KH. Noer Alie.

Mengisi usia mudanya, Abdurrahim selama beberapa tahun membantu KH. Achmad Sjaichu di Organisasi Islam Internasional, Rabithah Ma’ahid dan Ittihadul Muballighin, kembali berlabuh ke Riyadh, Saudi Arabia, dan beberapa negara Eropa Barat : Netherland, Prancis dan Spanyol.

Sepulang ke tanah air, pemirsa TPI mulai mengenal Abdurrahim Radjiun sebagai pengisi Kuliah Subuh, dan mengisi khotbah, ceramah tetap di Istana Presiden-Wakil Presiden, Dewan Hankam Nasional dan di hampir seluruh instansi.

Abdurrahim, sejak detik-detik persalinanya, sudah memperlihatkan gaya ‘cari jalan sendiri’ karena, konon, ketika itu ibunda Maryam merasakan sang jabang bayi sudah akan keluar, maka paman beliau mencarikan paraji, nenek yang biasa memberi bantuan persalinan, setara bidan. Tapi sang paman sangat terkejut, karena sekembali mencari paraji, Abdurrahim sudah dalam pangkuan ibundanya.

Di usia balita, Abdurrahim pernah mengejutkan ibunda Maryam dan orang-orang yang mendengar, ketika ditanya cita-citanya, kalau besar nanti ingin jadi apa. Dengan spontan Radjiun generasi kedua itu menjawab : “ Nabi !” Jawaban itu tidak hanya terdengar aneh, akan tetapi sangat mencemaskan. Karena setiap ditanya cita-cita, selalu saja menjawab dengan satu kata yang sama : Nabi.

Sekembali dari Pesantren Attaqwa, Bekasi, Abdurrahim mulai bermain dengan literatur bermuatan Filsafat, Logika, Metafisika, Tauhid dan Tashawwuf.

Dari otodidak dalam mencari dan menggali, sampai suatu ketika, di sebuah masjid kawasan Rawa Buaya, Jakarta Barat, Abdurrahim -yang selalu mengenakan sorban di usia belia, mengasuh dua santeri warganegara Australia, yang sedang mencari ilmu kanuragan. Suatu malam, Abdurrahim menjamu mie rebus untuk kedua santrinya. Di tengah lahapnya mereka menyantap mie, kedua bule itu terheran-heran, karena setiap mie yang disuap Abdurrahim, langsung dikeluarkan kembali sudah dalam bentuk gumpalan kawat baja. Yang lebih mengejutkan, ketika suatu malam mereka duduk bertiga, kedua santri itu melihat cahaya melingkar seperti neon di atas kepala Abdurrahim.

*
Di usia 40an, Abdurrahim hijrah ke tanah Pasundan, Cimacan, bersama isteri dan kedua puteranya : Ritha Sofia,
Bismillah Almischat dan Gaish Albaits.Di tempat ini, Abdurrahim mengalami peristiwa luar biasa. Kepada Gusti Raden Mas Bismillah – saat ini berusia 13th, sedang menghafal al Quran di Damaran, Kudus, beliau berbisik ‘ bapak mau mati. Ayo temani’ Mereka tidur berpelukan. Konon, dalam sare, tidur yang hanya 45 menitan itu, Abdurrahim bertemu dengan para Nabi. Mereka memberi peringatan keras, bahwa pintu kenabian tertutup, dan hanya ada satu lorong yang bisa dimasuki, yaitu mengikuti jejak dan keteladanan Muhammad Rasulullah SAW. Maka untuk menghapus kesalahannya, Abdurrahim ‘Uzlah ke Bakom, sebuah lembah tak berpenduduk, 13 kilometer dari kediamannya, dengan meninggalkan anak-isteri.

Selama 3 tahun menyepi, Abdurrahim sempat membangun masjid dengan 8 sudut berbentuk bintang, yang disebutnya sebagai bintang Mahraja. Bentuk dan nama yang terasa asing itu, dapat diartikan : Jalan Keluar (bhs Arab) atau Mahkota Raja (Akronim). Di lembah ini, dua santerinya yang sedang I’tikaf, Mahsan dan Aminuddin, ditawari sesuatu yang sulit dicerna akal : melihat bintang berkumpul di satu lingkaran. Di hadapan mereka, Abdurrahim menggerakkan kedua tangannya, seperti lazimnya para sufi menari. Hanya dalam tempo beberapa detik, kedua santeri itu bertasbih, karena melihat gemintang yang kumpul di satu tempat.
*
Bagaikan orang yang takut melihat bayangannya sendiri, Abdurrahim mengambil keputusan signifikan, bahwa 99.99% harta bendanya dijariahkan, termasuk puluhan hektar sawah, ladang, serta Guest House dan Majelis yang sekaligus dipersiapkan sebagai makamnya, dibangun di atas lahan seluas 1200m, menelan biaya sekitar 1 miliar. Sementara Abdurrahim, hanya tidur di kamar berukuran 2x3m melayani para tamu yang silaturrahim selama 24 jam, yang kemudian mengenalnya sebagai Abie Bismillah.

- Rakhmad Zailani Kiki -

Berita Inspirasi Lainnya